Rabu, 05 April 2017

PENGERTIAN FIQIH IBADAH




A.    Pengertian Fiqih
Kata fiqih adalah bentukan dari kata fiqhun yang secara bahasa berarti فَهْمٌ عَمِيْقٌ
(pemahaman yang mendalam) yang menghendaki pengerahan potensi akal. Ilmu fiqih  merupakan salah satu bidang keilmuan dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia baik menyangkut individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Definisi fiqih secara istilah nebgalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga tidak pernah bias kita temukan satu definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli merumuskan pengertiannya sendiri. Abu hanifah mengemukakan bahwa fiqih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian, fiqih bias dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia tentang berislam, yang bisa masuk pada wilayah aqidah, syariah, ibadah, dan akhlak.
Berikut beberapa definisi fiqih yang diungkapkan oleh beberapa Ulama:
1.      Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu.
2.      Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (Mubah), anjuran untuk melakukannya (sunnah), dan anjuran agar menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumber-sumber syari’ah, bukan akal atau perasaan.
3.      Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah.
4.      Fiqih diperoleh melalui dalil terperinci.
            Ulama fiqih sendiri mendefinisikan fiqih sebagai sekumpulan hukum amaliyah (yang akan dikerjakan) yang disyari’atkan dalam Islam. Dalam hal ini kalangan fuqaha membaginya menjadi dua pengertian, yakni: pertama, memelihara hukum furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya. Kedua, materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath’i maupun yang bersifat dhanni. [1]
A.    Ruang Lingkup Fiqih
Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu fiqih adalah semua hukum yang berbentuk amaliah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf (mukallaf artinya orang yang sudah dibebani atau diberi tanggung jawab melaksanakan ajaran syariah Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).
Adapun ruang lingkupnya seperti yang telah disebutkan di atas meliputi:
1.      Hukum yang bertalian dengan hubungan manusia dengan khaliqnya (Allah SWT). Hukum-hukum itu bertalian dengan hukum-hukum ibadah.
2.      Hukum-hukum yang bertalian dengan muammalat, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia drngan sesamanya baik pribadi maupun kelompok.
Inilah hukum-hukum Islam yang dibicarakan dalam kitab-kitab Fiqih dan terus berkembang.[2]
B.     Perbedaan Fiqih dengan Syariah
Secara terminology, kata syariah berarti sumber air yang digunakan untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering digunakan untuk jalan yang lurus  الطريقة المستقيمة, yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syariah menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah SWT.
Secara umum keberadaan syariah Islam ialah untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual untuk taat, tunduk, dan patuh kepada Allah SWT. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariah Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan istilah Maqashid Al-Syariah yaitu:
1.      Untuk memelihara agama (Hifz al-Din)
2.      Memelihara jiwa (Hifz al_Nafs)
3.      Memelihara Akal (Hifz al-Aql)
4.      Memelihara keturunan (Hifz al-Nasl)
5.       Memelihara akal (Hifz al-Mal)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syariah adalah teks-teks suci yang bebas dari kesalahan baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fiqih). Upaya untuk memehami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menhasilkan hukum sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihad.
Berikut adalah perbedaan syariah dan fiqih:
SYARIAH
FIQIH
Bersumber dari al-Qur’an Hadits serta kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari keduanya
Bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh, tetapi tetap merujuk pada al-Qur’an dan Hadits
Hukumnya bersifat Qath’I (pasti)
Hukumnya bersifat Dhanni (dugaan)
Hukum syariahnya hanya satu (universal) tetapi harus ditaati oleh semua umat Islam
Berbagai ragam cara pelaksanannya
Tidak ada campur tangan manusia (Ulama) dalam menetapkan hukum
Adanya campur tangan (ijtihad) para ulama dalam penetapan pelaksanaan hukum
Contoh sederhana perbedaan syariah dan fiqih adalah tentang perintah sholat dan tata cara pelaksanannya. Perintah sholat adalah masuk kategori syariah, sementara tata cara pelaksanaan sholat adalah masuk kategori syariah, sementara tata cara pelaksanaan sholat adalah adalah masuk wilayah fiqih. Sehingga tatacara pelaksanaan sholat terutama pada gerakan dan dan beberapa bacaannya terkadang terjadi perbedaan antara ulama yang satu dengan yang lain.[3]
C.    Pengertian Ibadah
Ditinjau dari segi bahasa ibadah memiliki arti:
1.       Taat (الطاعة)
2.       Tunduk(الخضوع) ,
3.       Hina (الذلّ)
4.       Pengabdian (التنسّك)
Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.
Di dalam al-Qur’an, kata ibadah berarti patuh (at-tha’ah), tunduk (al-khudu’), mengikut, menurut dan do’a.  Dalam pengertian yang sangat luas, ibadah adalah sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Adapun menurut ulama fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh ridho Allah dan mendambakan pahala darinya.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah bertaqarrub (mendekatkan diri)kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya sebagai tanda mengabdikan/memperhambakan diri kepada Allah swt.[4]
D.    Dasar dan Rukun Ibadah
Ibadah adalah amalan pokok dalam kehidupan manusia, sebab manusia diciptakan oleh Allah swt, tidak lain adalah dalam rangka untuk mengabdi (beribadah). Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat 56 yang artinya: “Tidaklah aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi/beribadah kepada-Ku”. Jelaslah ayat di atas menjadi dasar bagi manusia dalam beribadah. Adapun rukun ibadah adalah:
1.      Cinta; maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada cintanya kepada Allah dan Rosul-Nya.
2.      Takut (Khauf); maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Allah. Tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah.
3.      Harapan (Raja’); maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba dijalankan dengan penuh pengharapan tanpa ada rasa pantang menyerah.
Ibadah merupakan amalan latihan spiritual rohani manusia yang sangat diperlukan/dibutuhkan manusia dalam mendekatkan diri dan mensucikan jiwanya serta sebagai sarana mendapatkan pertolongan Allah swt.[5]
E.     Macam-macam Ibadah
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi 2, yakni ;
1.      Khas (Mahdhah)
Dalam pengertian khusus ibadah ialah perilaku manusia dilakukan atas perintah Allah swt, dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, atau disebut ritual. Oleh karena itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah ini sangan ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah, seperti: shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya.
2.      ‘Aam (Ghairu Mahdhah)
Secara umum ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah swt, yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapat ridho Allah swt.
Oleh karena itu dapat dikemukakan sitematikanya secara garis besar sebagai berikut:
1.      Thaharah
2.      Shalat
3.      Penyelenggaraan jenazah
4.      Zakat
5.      Puasa
6.      Haji dan Umrah
7.      Iktikaf
8.      Sumpah dan Kafarat
9.      Nazar
10.  Qurban dan Aqiqah.[6]
Perbedaan antara ibadah khusus dan umum terletak pada perbedaan sebagaimana dinyatakan oleh kaidah yang berbunyi sebagai berikut: “bahwa ibadah dalam arti khusus semuanya dilarang kecuali yang diperintahkan dan dicontohkan, sedangkan ibadah adalam arti umum senuanya dibolehkan kecuali yang dilarang.”
Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam 3 bentuk, yakni sebagai berikut:
a.       Ibadah Jasmaniah Ruhaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani, misalnya : shalat dan puasa.
b.      Ibadah Ruhaniah dan Maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta seperti zakat.
c.       Ibadah Jasmani, Ruhaniah, dan Maliyah yakni ibadah yang menyatukan ketiganya, contohnya seperti ibadah haji.
Ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah dibagi menjadi 2 yaitu kepentingan fardi (perorangan) seperti sholat dan kepeningan ijtima’I (masyarakat) seperti zakat dan haji.
Ditinjau dari segi bentuknya, ibadah ada 6 macam yaitu:
1.      Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan, di antaranya yaitu dzikir, do’a, munajat, dsb.
2.      Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat. Contohnya; berjihad di jalan Allah, tolong menolong, dsb.
3.      Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya; puasa, sabar.
4.      Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari sesuatu pekerjaan, contohnya; I’tikaf, shalat sunnah.
5.      Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak. Contohnya; membebaskan orang-orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang.
6.      Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan. Contohnya: khudu’, khusyu’, menahan diri dan berbicara tiada guna.[7]
F.     Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Ibadah
Manusia diciptakan dalam penciptaan yang baik. Manusia dibentuk dengan sebaik-baik bentuk, diajari daya berkomunikasi, diberi akal dan kemauan. Alam sekitar ditundukkan untuk melayani kebutuhan manusia. Karena itu suatu yang sangat pantas bila Al-Khaliq memiliki hak untuk menerima ibadah, permohonan dan pertolongan pemanjatan do’a dan bersimpuhnya hamba di hadirat-Nya dengan penuh kepasrahan, penyerahan dan kepatuhan.
Untuk memberi pedoman ibadah yang bersifat final, Islam menerikan prinsip-prinsip ibadah sebagai berikut:
a.       Hanya Allah yang berhak disembah
b.      Dalam beribadah setiapa mu’min harus yakin bahwa Allah adalah dekat dengan hambanya.
c.       Ikhlas sebagai sendi ibadah yang akan diterima disisi Allah.
d.      Ibadah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rosul-Nya.
e.       Memelihara keseimbangan dalam beribadah.
f.        Ibadah itu mudah dan meringankan.
g.      Dilakukan secara sah.
h.      Amalan yang dilakukan hendaklah diakui Islam dan bersesuaian dengan hukum syara’.
i.        Amalan hendaklah dikerjakan dengn niat dan tujuan yang baik, memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, bermanfaat bagi ummat dan memakmurkan bumi Allah.
j.        Amalan hendaknya dibuat dengan sebaik-baiknya.
k.      Ketika melakukan kerja hendaklah senantiasa mengikuti hukum-hukum Syari’at dan batasnya, tidak mendzalimi orang, tidak khianat, dan tidak menindas atau merampas hak orang lain.
l.        Dalam mengerjakan suatu ibadah tidak lalai dari ibadah wajib. [8]
G.    Tujuan Ibadah
Ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat.
Sedangkan tujuan tambahannya adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik.[9]


[1] Kementrian Agama Republik Indonesia, FIKIH, Jakarta: Kementrian agama, 2014, hal. 6-7
[2] Kementrian Agama Republik Indonesia, FIKIH, Jakarta: Kementrian agama, 2014, hal. 7-8  
[3] Kementrian Agama Republik Indonesia, FIKIH, Jakarta: Kementrian agama, 2014, hal. 8-11
[4]Abdul Hamid, Beni Ahmad Saebani, FIQH IBADAH, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal. 61-62
[5]Kementrian Agama Republik Indonesia, FIKIH, Jakarta: Kementrian agama, 2014, hal.  12-13
[6] A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, FIQH IBADAH, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002, cet-2, hal. 6-7.
[7]Kementrian Agama Republik Indonesia, FIKIH, Jakarta: Kementrian agama, 2014, hal. 13-14
[8] Kementrian Agama Republik Indonesia, FIKIH, Jakarta: Kementrian agama, 2014, hal. 14-15
[9] A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, FIQH IBADAH, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2002, cet-2, hal.9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar