Rabu, 05 April 2017

SEJARAH PENGKODIFIKASIAN DAN PERIWAYATAN HADITS PADA MASA SAHABAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perkembangannya ilmu hadis telah mengalami beberapa periode meliputi sejak masa penyampaian hadis di masa Rasulullah SAW hingga masa pembukuan. Pembukuan berbeda dengan penulisan, seseorang yang menulis sebuah shahifah atau lebih maka disebut dengan penulisan sedangkan pembukuan atau pengkodifikasian adalah mengumpulkan shahifah yang sudah tertulis dan yang dihafal dalam dada lalu menyusunnya sehingga menjadi dalam satu buku. Dalam perincian lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah berikut ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan hadis pada masa sahabat?
2.      Bagaimana perkembangan hadis pada masa tabi’in?
3.      Bagaimana penulisan dan pembukuan (kodifikasi) hadis?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui perkembangan hadis pada masa sahabat
2.      Mengetahui perkembangan hadis pada masa tabi’in
3.      Mengetahui penulisan dan pembukuan (kodifikasi) hadis








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis pada Masa Sahabat
Seseorang yang bisa disebut dengan sahabat antara lain adalah:
a)   Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang Islam.
b)   Orang yang lama menemani Nabi SAW dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
c)   Orang Islam yang pernah menemani Nabi SAW atau melihatnya.[1]
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).[2] Berikut ini merupakan beberapa pedoman periwayatan hadis yang terpenting pada masa sahabat yaitu:
1.      Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagimana sabdanya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadis)”. (HR. Malik)
Dan sabdanya pula:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu hadis”.
2.      Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an.  Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh  ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karenannya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin dan sahabat lainnya seperti Al-Zubair, Ibn bbas dab Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[3]
Al-Dzahabi menjelaskan sehubungan dengan biografi Abu Bakar Shidiq r.a. “Ia adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima hadis”. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dan Qabishah bin Dzuaib bahwa seorang nenek- nenek dating kepada Abu Bakar meminta penjelasan tentang hak warisnya. Beliau berkata, “tidak saya dapatkan suatu keterangan pun dalam Al-Qur’an tentang hak mu dan saya tidak tahu apakah Rasululah SAW pernah menentukan masalah seumpama ini”. Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat. Maka berdirilah Mughirah seraya berkata: “saya melihat Rasulullah member hak (nenek) sebesar seperenam”. Abu Bakar bertanya, adakah selain kamu yang turut menyaksikannya? Muhammad bin Maslamah menyaksikan hal yang sama. Lalu Abu Bakar menentukan haknya seperenam.[4]
3.      Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
a.    Periwayatn Lafzhi
Seperti yang telah dikatakan, bahwa periwayatan lafazhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
            Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW bukan menurut redaksi dari mereka. Bahkan menurut Ajjaj Al-Khatib sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang neriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar ibn Khatab pernah berkata:
“Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.
b.   Periwayatanm Maknawi
Di antara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sanagt hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul SAW hakadza (Rasul SAW telah bersabda begini), atau nahwan atau qala Rasul SAW qariban min hadza.
Periwayatan hadis maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah para sahabt yang memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Kitab inin juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi SAW untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah Nabi SAW.[5]

B.     Hadis pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagimanapun, mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah Al- Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman, dan Khurasan.
2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis serta Langkah-langkah Pemberantasannya
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok (khowarij, syi’ah, muawiyah, dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok tersebut.
            Dari pergolakan politik di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
            Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.[6] Di antara usaha mereka yaitu sebagai berikut:
1)      Mencari sanad hadis dan meneliti karakteristik para rawinya
2)      Mengimbau agar setiap orang berhati-hati dalam menerima hadis dan tidak menerimanya kecuali dari orang yang dapat dipercaya keagamaannya, kewara’-annya, hafalannya, dan ketepatannya.
3)      Menempuh jalan jauh sekedar untuk mendengar hadis tertentu dari orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW dan untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan.
4)      Membandingkan setiap hadis yang diriwayatkan dengan hadis riwayat orang lain yang dikenal lebih kuat hafalannya dan lebih dapat dipercaya, demi mengetahui kepalsuan dan kelemahannya. Apabila didapati bahwa hadis mereka bertentangan dengan hadis riwayat orang lain yang lebih kuat hafalan dan lebih dipercaya, maka serta-merta mereka yakin menolak meninggalkannya.[7]
C.    Sejarah Pengkodifikasian Hadits
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi al-Qur’an. Hal ini sangat wajar karena al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan Ustmani (khat ‘ustmani).
Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 H dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 H. penghimpunan dan pengkodifikasian hadits disini dibagi menjadi 5 periode, yaitu periode nabi Muhammad saw, periode sahabat, periode tabi’in, periode tabi’tabi’in dan periode setelah tabi’ tabi’in.


1. Periode nabi Muhammad (13 SH-11 H)
Nabi sebagai sumber hadits menjadi figure sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Perhatian sahabat terhadap hadits sangat tinggi terutama di berbagai majlis nabi atau tempat menyampaikan risalah Islamiyah.
Menurut Ahmad Umar Hasyim (ulama Al-Azhar Mesir) paling tidak ada 3 faktor penyebab perhatian para sahabat kepada hadits atau Sunnah Rasul :
  1. Nabi sebagai panutan yang baik (uswah hasanah) bagi umatnya sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Ahzab (33):1
  2. Kandungan beberapa ayat al-qur’an dan hadits Rasulullah yang menganjurkan mereka menuntut ilmu dan mengamalkannya sebagaimana surah Al-‘Alaq (96) yang turun pertama kali ayat 1-5.
  3. Kesiapan mereka secara fithrah Arab yang memiliki ingatan kuat untuk mengingat segala hal yang terjadi pada Rasulullah.[8]
Hadist pada waktu itu hanya di ingat dan dihafal oleh mereka dan tidak ditulis seperti al-Qur’an ketika disampaikan Nabi, karena situasi tidak memungkinkan. Dr. Musthafa As-Siba’i menyampaikan beberapa alasan diantaranya:
1.      Al-qur’an masih turun kepada nabi Muhammad dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana.
2.      Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat pada awal islam masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu al-Qur’an.
3.      Ingatan oramg-orang Arab yang dikenal bersifat sangat kuat dan diandalkan rasul untuk mengingat hadits.[9]
Secara resmi memang nabi melarang menulis bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan al-Qur’an. Bagaimana tidak khawatir al-Qur’an dan hadits sama-sama berbahasa Arab dan sama-sama disampaikan melalui lisan Rasul dan bagi hadits qauli. Jika sarana dan prasarana yang sangat sederhana itu al-Qur’an dan hadits itu ditulis di atasnya dalam bentuks atu catatan atau satu lembar pelepah kurma, maka akan sulit membedakan antara al-Qur’an dan hadits.

2.   Periode sahabat (12-98 H)
Setelah nabi Muhammad wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang-orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan al-Qur’an.    
Demikian juga kasus lain kondisi orang-orang asing/non Arab yang masuk Islam yang tidak paham Bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadits. Abu bakar pernah berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah di tangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Umar bin Khatab juga pernah ingin mencoba menghimpunnya tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata : “sesungguhnya aku punya hasrat menulis Sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi allah sesungguhnya kau tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya.
Kekhawatiran Umar bin Khatab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh/ menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka. Umar khawatir umat Islam meninggalkan al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.[10]
Setelah al-Qur’n terkodifikasi pada masa Abu Bakar dan terlebih pada masa Ustman yang kemudian di kirim ke berbagai penjuru, mereka mempelajari Sunnah, bermudzakarah, dan menulisnya, bahkan mereka menganjurkan dan memperbolehkan pengkodifikasiannya.
3.   Periode tabi’in
Pada masa abad ini disebut Masa Pengkodifikasian Hadits (al-jam’u wa at-tadwin). Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya peghimpunan dan pembukuan hadits, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits. “lihatlah hadis Rasulullah kemudian himpunlah ia ”. Demikian juga surat khalifah yang di kirim kepada Ibn Hazm : “tulislah kepadaku apa yang tetap padamu daripada hadits rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama
Tidak diketahui secara pasti siapa di antara ulama yang lebih dahulu dalam melaksanakan instruksi tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Bin Amr bin Hazm sebagaimana teks di atas. Namun pendapat yang paling populer adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri sedang ibn Hazm hanya menyampaikan instruksi khalifah ke seluruh negeri kekuasaan dan belum melakukan kodifikasi. Az-zuhri dinilai sebgai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[11]
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn Asy-Syihab Az-Zuhri orang pertama yang mengkodifikasikan hadits pada awal tahun 100 H di bawah Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun hadits dalam bentuk formal atas intruksi seorang khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah dikalangan para sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan instruksi seorang khalifah. Hadits pada abad ini di himpun dari shuhuf yang di tulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat maupun tabi’in.
4.   Periode Tabi’ Tabi’in
Pada periode abad ke 3 H ini disebut masa kejayaan Sunnah (min ‘ushur al izdihar) atau disebut masa keemasan Sunnah, karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan Sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Maka lahirlah buku induk hadis enam (ummahat kutub as sittah). Yaitu buku buku hadits yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama hadits berikutnya.[12]
Pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan hadits nabi dari yang bukan hadits atau dari hadits nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya, dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan nabi, sehingga telah dapat dipisahkan mana yang hadits shahih mana yang bukan shahih . dan yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah al-Bukhari kemudian di susul Imam Muslim.[13]
Pada masa ini juga lahir para huffadz dan para pembesar kritikus hadits sekalipun menghadapi fitnah dan ujian dari kaum mu’tazilah . dan untuk menjawab tantangan dari ahli kalam yang menyerang matan dan sanad hadits dengan cercaan bahwa hadits tidak layak dijadikan hujjah dalam Islam, karena saling kontra antara satu dengan yang lain, Ibnu Qutaibah menulis sebuah buku yang berjudul Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits sebagai jawabannya.
Sebagian ulama pada masa ini juga ada yang mengkodifikasi hadits berdasarkan nama periwayat para sahabat yang diperolehnya yang disebut dengan bentuk musnad.
5.   Periode Setelah Tabi’ Tabi’in.
Pada masa ini disebut penghimpunan dan penertiban (Al Jam’i Wa Al Tartib). Ulama mutaakhirin atau khalaf (modern) melakukan cara periwayatan dan pembukuan hadits bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecali hanya sedikit saja. Namun, dari segi teknik lebih sistematik daripada masa-masa sebelumnya.
Diantara kegiatan pengkodifikasian hadits pada periode ini 4-6 H adalah dalam bentuk mu’jam (ensiklopedi), shahih (himpunan shahih saja), mustadrak (susulan shahih), sunan al jam’u (gabungan dua atau beberapa kitab hadits), ikhtisar (resume), syarah (ulasan).[14]
Pada masa berikutnya 7-8 H dan berikutnya disebut masa penghimpunan dan pembukuan hadits secara sistematik (al jam’u wa at tanzhim). Pada akhir abad 7 H Turki dapat menguasai daerah-daerah Islam kecuali Barat seperti Maroko dan sekitarnya. Pada abad 9 H turki dibawah pemerintahan ottoman berhasil merebut kota Konstatinopel dan dijadikan ibu kotanya.  Kemudian menaklukkkan mesir dan melenyapkan Khilafah Abbasiyah. Dengan itu pemerintahan Islam di Andalusia hancur dan islam padam memancarkan sinarnya. Belum lagi imperealis barat yang menguasai dunia Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam. Hal ini menyebabkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang termasuk dalam pengabdiannya terhadap agama.
Karena kondisi di atas, ulama hadits tidak bebas dalam menyampaikan dan menerima. Maka dilakukan secara :
1.      Mursalat (korespondensi)
2.      Ijazah 
3.      Imla’.[15]
















BAB III
KESIMPULAN
Hadist pada masa nabi hanya di ingat dan dihafal oleh mereka dan tidak ditulis seperti al-Qur’an ketika disampaikan Nabi, karena situasi tidak memungkinkan.
Pada masa sahabat terjadi penyederhanaan periwayatan pada masa khulafaur rasyidin. Kemudian pada masa tabi’in memulai penghimpunan hadits. Masa tabi’ tabi’in merupakan masa kejayaan kodifikasi hadits, yang terkahir masa setelah tabi’ tabi’in, masa ini merupakan masa penghimpunan dan penertiban secara sistematis.



[1] Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 37
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.79
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 79-81
[4] Dr. Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2012), hlm. 42
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 82-84
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 85-88
[7] Dr. Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 46-48
[8]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 43-44
[9]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 44
[10] Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi,(Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2014), hlm. 64-65 
[11]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 53-55.
[12]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 56
[13]Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2014), hlm. 73
[14]Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2014), hlm. 74-76
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 61-62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar