BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam perkembangannya ilmu hadis telah
mengalami beberapa periode meliputi sejak masa penyampaian hadis di masa
Rasulullah SAW hingga masa pembukuan. Pembukuan berbeda dengan penulisan,
seseorang yang menulis sebuah shahifah atau lebih maka disebut dengan penulisan
sedangkan pembukuan atau pengkodifikasian adalah mengumpulkan shahifah yang
sudah tertulis dan yang dihafal dalam dada lalu menyusunnya sehingga menjadi
dalam satu buku. Dalam perincian lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah
berikut ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
perkembangan hadis pada masa sahabat?
2. Bagaimana
perkembangan hadis pada masa tabi’in?
3. Bagaimana
penulisan dan pembukuan (kodifikasi) hadis?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui perkembangan hadis pada masa sahabat
2.
Mengetahui perkembangan hadis pada masa tabi’in
3.
Mengetahui penulisan dan pembukuan (kodifikasi) hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis pada Masa Sahabat
Seseorang yang bisa disebut dengan sahabat
antara lain adalah:
a)
Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dengan beriman kepadanya dan
mati sebagai orang Islam.
b)
Orang yang lama menemani Nabi SAW dan berulang kali mengadakan
perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
c)
Orang Islam yang pernah menemani Nabi SAW atau melihatnya.[1]
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat,
khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai
dengan 40 H. Masa ini disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu
berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini
oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).[2]
Berikut ini merupakan beberapa pedoman periwayatan hadis yang terpenting pada
masa sahabat yaitu:
1.
Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya
kepada orang lain, sebagimana sabdanya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat
setelah berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan
sunnahku (Al-Hadis)”. (HR. Malik)
Dan sabdanya pula:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu hadis”.
2.
Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima
Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada
usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an.
Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai
dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti
halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam
meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para
sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal
mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang
harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karenannya, para
sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin dan sahabat lainnya seperti Al-Zubair,
Ibn bbas dab Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[3]
Al-Dzahabi menjelaskan sehubungan dengan biografi Abu Bakar Shidiq
r.a. “Ia adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima hadis”. Diriwayatkan
oleh Ibnu Syihab dan Qabishah bin Dzuaib bahwa seorang nenek- nenek dating
kepada Abu Bakar meminta penjelasan tentang hak warisnya. Beliau berkata,
“tidak saya dapatkan suatu keterangan pun dalam Al-Qur’an tentang hak mu dan
saya tidak tahu apakah Rasululah SAW pernah menentukan masalah seumpama ini”.
Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat. Maka berdirilah Mughirah seraya
berkata: “saya melihat Rasulullah member hak (nenek) sebesar seperenam”. Abu
Bakar bertanya, adakah selain kamu yang turut menyaksikannya? Muhammad bin
Maslamah menyaksikan hal yang sama. Lalu Abu Bakar menentukan haknya seperenam.[4]
3.
Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
a.
Periwayatn Lafzhi
Seperti yang telah dikatakan, bahwa periwayatan lafazhi adalah
periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan
Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang
disabdakan Rasulullah SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh
periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW bukan menurut redaksi dari mereka. Bahkan
menurut Ajjaj Al-Khatib sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar
periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara
ketat melarang neriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau
satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan
kata yang disebut Rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan
yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar ibn Khatab
pernah berkata:
“Barang siapa
yang mendengar hadis dari Rasul SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan
yang ia dengar, orang itu selamat”.
b.
Periwayatanm Maknawi
Di antara para
sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak
hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara
maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak
persis sama dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan
sedikitpun.
Meskipun
demikian, para sahabat melakukannya dengan sanagt hati-hati. Ibnu Mas’ud
misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang
digunakannya untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul
SAW hakadza (Rasul SAW telah bersabda begini), atau nahwan atau qala
Rasul SAW qariban min hadza.
Periwayatan
hadis maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara
satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya
tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi
berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristik
yang menonjol pada era sahabat ini adalah para sahabt yang memiliki komitmen
yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran,
mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Kitab inin juga
diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi SAW
untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan
keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab terkumpul dalam satu suhuf, mereka
baru berani menuliskan sunnah Nabi SAW.[5]
B.
Hadis pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in
tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagimanapun,
mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan
yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa
ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang
telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya
masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah Islam, penyebaran para
sahabat ke daerah-daerah terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1.
Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan
hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota
tersebut ialah Madinah Al- Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah,
Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman, dan Khurasan.
2.
Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis serta
Langkah-langkah Pemberantasannya
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat setelah
terjadinya perang jamal dan perang siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh
Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut
dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok (khowarij, syi’ah,
muawiyah, dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok
tersebut.
Dari pergolakan politik di atas,
cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang
langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu’)
untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat
positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi
atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan
pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.[6]
Di antara usaha mereka yaitu sebagai berikut:
1)
Mencari sanad hadis dan meneliti karakteristik para rawinya
2)
Mengimbau agar setiap orang berhati-hati dalam menerima hadis dan
tidak menerimanya kecuali dari orang yang dapat dipercaya keagamaannya,
kewara’-annya, hafalannya, dan ketepatannya.
3)
Menempuh jalan jauh sekedar untuk mendengar hadis tertentu dari
orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah SAW dan untuk mengetahui
karakteristik rawi yang bersangkutan.
4)
Membandingkan setiap hadis yang diriwayatkan dengan hadis riwayat
orang lain yang dikenal lebih kuat hafalannya dan lebih dapat dipercaya, demi
mengetahui kepalsuan dan kelemahannya. Apabila didapati bahwa hadis mereka
bertentangan dengan hadis riwayat orang lain yang lebih kuat hafalan dan lebih
dipercaya, maka serta-merta mereka yakin menolak meninggalkannya.[7]
C.
Sejarah Pengkodifikasian Hadits
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadits
mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan
kodifikasi al-Qur’an. Hal ini sangat wajar karena al-Qur’an pada masa Nabi
sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada
masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa
Ar-Rasyidin sekalipun penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan
yang disebut dengan tulisan Ustmani (khat
‘ustmani).
Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum
justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad
ke-2 H dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 H. penghimpunan dan
pengkodifikasian hadits disini dibagi menjadi 5 periode, yaitu periode nabi
Muhammad saw, periode sahabat, periode tabi’in, periode tabi’tabi’in dan
periode setelah tabi’ tabi’in.
1. Periode nabi
Muhammad (13 SH-11 H)
Nabi sebagai sumber
hadits menjadi figure sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Perhatian
sahabat terhadap hadits sangat tinggi terutama di berbagai majlis nabi atau
tempat menyampaikan risalah Islamiyah.
Menurut Ahmad Umar Hasyim
(ulama Al-Azhar Mesir) paling tidak ada 3 faktor penyebab perhatian para
sahabat kepada hadits atau Sunnah Rasul :
- Nabi sebagai panutan yang baik (uswah hasanah) bagi umatnya sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Ahzab (33):1
- Kandungan beberapa ayat al-qur’an dan hadits Rasulullah yang menganjurkan mereka menuntut ilmu dan mengamalkannya sebagaimana surah Al-‘Alaq (96) yang turun pertama kali ayat 1-5.
- Kesiapan mereka secara fithrah Arab yang memiliki ingatan kuat untuk mengingat segala hal yang terjadi pada Rasulullah.[8]
Hadist pada waktu itu hanya di ingat dan dihafal oleh
mereka dan tidak ditulis seperti al-Qur’an ketika disampaikan Nabi, karena
situasi tidak memungkinkan. Dr. Musthafa As-Siba’i menyampaikan beberapa alasan
diantaranya:
1. Al-qur’an masih turun kepada nabi Muhammad dan kondisi
penulisannya masih sangat sederhana.
2. Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat pada awal
islam masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah
difungsikan sebagai penulis wahyu al-Qur’an.
3. Ingatan oramg-orang Arab yang dikenal bersifat sangat
kuat dan diandalkan rasul untuk mengingat hadits.[9]
Secara resmi memang nabi melarang menulis bagi umum
karena khawatir campur antara hadits dan al-Qur’an. Bagaimana tidak khawatir
al-Qur’an dan hadits sama-sama berbahasa Arab dan sama-sama disampaikan melalui
lisan Rasul dan bagi hadits qauli. Jika sarana dan prasarana yang sangat sederhana
itu al-Qur’an dan hadits itu ditulis di atasnya dalam bentuks atu catatan atau
satu lembar pelepah kurma, maka akan sulit membedakan antara al-Qur’an dan
hadits.
2.
Periode sahabat (12-98 H)
Setelah nabi Muhammad wafat para sahabat belum
memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyak problem yang
dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang-orang yang murtad, timbulnya
peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi
mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan al-Qur’an.
Demikian juga kasus lain kondisi orang-orang asing/non
Arab yang masuk Islam yang tidak paham Bahasa Arab secara baik sehingga
dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadits. Abu bakar
pernah berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi
fitnah di tangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Umar bin Khatab juga pernah ingin mencoba
menghimpunnya tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan
beliau berkata : “sesungguhnya aku punya
hasrat menulis Sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang
menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab
Allah. Demi allah sesungguhnya kau tidak akan mencampur adukkan kitab Allah
dengan sesuatu yang lain selamanya.”
Kekhawatiran Umar bin Khatab dalam pembukuan hadits
adalah tasyabbuh/ menyerupai dengan
ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikannya dengan kalam mereka. Umar khawatir umat Islam meninggalkan
al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti
melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum
memungkinkan untuk itu.[10]
Setelah al-Qur’n terkodifikasi pada masa Abu Bakar dan
terlebih pada masa Ustman yang kemudian di kirim ke berbagai penjuru, mereka
mempelajari Sunnah, bermudzakarah, dan menulisnya, bahkan mereka menganjurkan
dan memperbolehkan pengkodifikasiannya.
3.
Periode tabi’in
Pada masa abad ini disebut Masa Pengkodifikasian Hadits (al-jam’u
wa at-tadwin). Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup
pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya peghimpunan dan pembukuan hadits,
karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama
baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para
gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu
menghimpun dan membukukan hadits. “lihatlah
hadis Rasulullah kemudian himpunlah ia ”. Demikian juga surat khalifah yang
di kirim kepada Ibn Hazm : “tulislah
kepadaku apa yang tetap padamu daripada hadits rasulullah, sesungguhnya aku khawatir
hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama”
Tidak diketahui secara pasti siapa di antara ulama
yang lebih dahulu dalam melaksanakan instruksi tersebut. Sebagian pendapat
mengatakan Abu Bakar Bin Amr bin Hazm sebagaimana teks di atas. Namun pendapat
yang paling populer adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri sedang
ibn Hazm hanya menyampaikan instruksi khalifah ke seluruh negeri kekuasaan dan
belum melakukan kodifikasi. Az-zuhri dinilai sebgai orang pertama dalam
melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[11]
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama
berkesimpulan bahwa Ibn Asy-Syihab Az-Zuhri orang pertama yang
mengkodifikasikan hadits pada awal tahun 100 H di bawah Khalifah Umar Bin Abdul
Aziz. Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun hadits dalam bentuk
formal atas intruksi seorang khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena
tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah dikalangan para
sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan instruksi
seorang khalifah. Hadits pada abad ini di himpun dari shuhuf yang di tulis oleh
para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik
dari sahabat maupun tabi’in.
4.
Periode Tabi’ Tabi’in
Pada periode abad ke 3 H ini disebut masa kejayaan
Sunnah (min ‘ushur al izdihar) atau
disebut masa keemasan Sunnah, karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu
dan Sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa.
Maka lahirlah buku induk hadis enam (ummahat
kutub as sittah). Yaitu buku buku hadits yang dijadikan pedoman dan
referensi para ulama hadits berikutnya.[12]
Pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan
hadits nabi dari yang bukan hadits atau dari hadits nabi dari perkataan sahabat
dan fatwanya, dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang
sangat teliti apa saja yang dikatakan nabi, sehingga telah dapat dipisahkan
mana yang hadits shahih mana yang bukan shahih . dan yang pertama kali berhasil
membukukan hadits shahih saja adalah al-Bukhari kemudian di susul Imam Muslim.[13]
Pada masa ini juga lahir para huffadz dan para
pembesar kritikus hadits sekalipun menghadapi fitnah dan ujian dari kaum
mu’tazilah . dan untuk menjawab tantangan dari ahli kalam yang menyerang matan
dan sanad hadits dengan cercaan bahwa hadits tidak layak dijadikan hujjah dalam
Islam, karena saling kontra antara satu dengan yang lain, Ibnu Qutaibah menulis
sebuah buku yang berjudul Ta’wil
Mukhtalif Al-Hadits sebagai jawabannya.
Sebagian ulama pada masa ini juga ada yang
mengkodifikasi hadits berdasarkan nama periwayat para sahabat yang diperolehnya
yang disebut dengan bentuk musnad.
5.
Periode Setelah Tabi’ Tabi’in.
Pada masa ini disebut penghimpunan dan penertiban (Al Jam’i Wa Al Tartib). Ulama mutaakhirin atau khalaf (modern) melakukan cara periwayatan dan pembukuan hadits
bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin.
Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya
kecali hanya sedikit saja. Namun, dari segi teknik lebih sistematik daripada
masa-masa sebelumnya.
Diantara kegiatan pengkodifikasian hadits pada periode
ini 4-6 H adalah dalam bentuk mu’jam (ensiklopedi), shahih (himpunan shahih
saja), mustadrak (susulan shahih), sunan al jam’u (gabungan dua atau beberapa
kitab hadits), ikhtisar (resume), syarah (ulasan).[14]
Pada masa berikutnya 7-8 H dan berikutnya disebut masa
penghimpunan dan pembukuan hadits secara sistematik (al jam’u wa at tanzhim).
Pada akhir abad 7 H Turki dapat menguasai daerah-daerah Islam kecuali Barat
seperti Maroko dan sekitarnya. Pada abad 9 H turki dibawah pemerintahan ottoman
berhasil merebut kota Konstatinopel dan dijadikan ibu kotanya. Kemudian menaklukkkan mesir dan melenyapkan
Khilafah Abbasiyah. Dengan itu pemerintahan Islam di Andalusia hancur dan islam
padam memancarkan sinarnya. Belum lagi imperealis barat yang menguasai dunia
Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam. Hal ini menyebabkan
kemunduran umat Islam dalam segala bidang termasuk dalam pengabdiannya terhadap
agama.
Karena kondisi di atas, ulama hadits tidak bebas dalam
menyampaikan dan menerima. Maka dilakukan secara :
1. Mursalat (korespondensi)
2. Ijazah
3. Imla’.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Hadist pada masa nabi hanya
di ingat dan dihafal oleh mereka dan tidak ditulis seperti al-Qur’an ketika
disampaikan Nabi, karena situasi tidak memungkinkan.
Pada masa sahabat terjadi penyederhanaan
periwayatan pada masa khulafaur rasyidin. Kemudian pada masa tabi’in memulai
penghimpunan hadits. Masa tabi’ tabi’in merupakan masa kejayaan kodifikasi
hadits, yang terkahir masa setelah tabi’ tabi’in, masa ini merupakan masa
penghimpunan dan penertiban secara sistematis.
[1] Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 37
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.79
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 79-81
[4] Dr. Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,2012), hlm. 42
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 82-84
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 85-88
[7] Dr. Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 46-48
[8]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hlm. 43-44
[9]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hlm. 44
[10] Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi,(Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2014), hlm. 64-65
[11]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hlm. 53-55.
[12]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hlm. 56
[13]Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2014), hlm. 73
[14]Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang,
2014), hlm. 74-76
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hlm. 61-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar